Kamis, 12 Januari 2012

SYIRKAH DALAM ISLAM


Presentasi syirkah & mudharabah - Presentation Transcript
  1. Presentasi Ke-8
    SYIRKAH & MUDHARABAH
    Membahas Terminologi Syirkah, Dalil, Bentuk-bentuk Syirkah, Rukun dan Syarat Syirkah, Musyarakah dan Mudharabah.
    Oleh: Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA
  2. Definisi Syirkah (Kerjasama)
    Secara etimologi al-syirkah berarti al-ikhtilath (percampuran) dan persekutuan, yaitu percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan.
    Secara terminologi, menurut ulama Malikiah:
    إذن في التصرف لهما مع أنفسهما في مال لهما
    Izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka.
    Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah:
    ثبوت الحق في شيئ لإثنين فأكثر على جهة الشيوع
    Penetapan hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.
    Menurut ulama Hanafiah:
    عقد بين المتشاركين في رأس المال والربح
    Akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.
    Kesimpulan: Syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam sebuah usaha dengan konsekuensi keuntungan dan kerugiannya ditanggung secara bersama.
  3. Dasar Hukum (Dalil) Syirkah
    QS. Al-Nisa’: 12
    فهم شركاء في الثلث…
    Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu
    QS. Shad: 24
    وإن كثيرا من الخلطاء ليبغي بعضهم على بعض إلا الذين امنو وعملوا الصالحات
    Sesungguhnya kebanyakan dari orang yang berserikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang yang beriman dan beramal saleh.
    Hadis riwayat Abu Dawud, dari Abu Hurairah, Rasul Saw bersabda:
    أنا ثالث شريكين مالم يخن أحدهما صاحبه فإذا خانه خرجت من بينهما
    Aku jadi yang ketiga antara dua orang yang berserikat selama yang satu tidak khianat kepada yang lainnya, apabila yang satu berkhianat kepada pihak yang lain, maka keluarlah aku darinya
  4. Macam-Macam Syirkah
  5. Macam-macam Syirkah
    Syirkah al-amlak (perserikatan dalam pemilikan)
    Syirkah al-‘uqud (perserikatan berdasarkan suatu akad)
    SYIRKAH AL-AMLAK
    Menurut Sayyid Sabiq, syirkah al-amlak adalah bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang tanpa didahului aqad, baik bersifat ikhtiari atau jabari. Syirkah al-amlak terbagi dua :
    Ikhtiari (perserikatan yang dilandasi pilihan orang yang berserikat), yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat, seperti dua orang sepakat membeli suatu barang, atau mereka menerima harta hibah secara berserikat. Maka barang atau harta tersebut menjadi harta serikat bagi mereka berdua.
    Jabari (perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat), seperti harta warisan, menjadi milik bersama orang-orang yang berhak menerima warisan.
    Status harta dalam syirkah al-amlak adalah sesuai hak masing-masing, bersifat mandiri secara hukum. Jika masing-masing ingin bertindak hukum terhadap harta serikat itu, harus ada izin dari mitranya. Hukum yang terkait dengan syirkah al-amlak dibahas secara luas dalam bab wasiat, waris, hibah dan wakaf.
  6. SYIRKAH AL-‘UQUD
    Akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya.
    Syirkah al-‘uqud terbagi lima:
    1. Syirkah al-‘inan (شركة العنان), yaitu perserikatan dalam modal (harta) antara dua orang atau lebih, yang tidak harus sama jumlahnya. Keuntungan dan kerugian dibagi dua sesuai prosentase yang telah disepakati. Sedangkan kerugian menjadi tanggung jawab orang-orang yang berserikat sesuai dengan prosentase penyertaan modal/saham masing-masing. Para ulama sepakat, hukumnya boleh.
    2. Syirkah Mufawadhah ( شركة المفاوضة ), perserikatan dua orang atau lebih pada suatu obyek, dengan syarat masing-masing pihak memasukkan modal yang sama jumlahnya, serta melakukan tindakan hukum (kerja) yang sama pula. Jika mendapat keuntungan dibagi rata, dan jika berbeda tidak sah. Masing-masing pihak hanya boleh melakukan transaksi jika mendapat persetujuan dari pihak lain (sebagai wakilnya), jika tidak, maka transaksi itu tidak sah. Ulama Hanafiah dan Zaidiyah menyatakan bentuk perserikatan seperti ini dibolehkan. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak boleh, karena sulit untuk menentukan prinsip kesamaan modal, kerja dan keuntungan dalam perserikatan itu, disamping tidak ada satu dalilpun yang shahih yang bisa dijadikan dasar hukum. Tetapi mereka membolehkan Mufawadhah seperti pandangan Malikiyah, yaitu boleh mufawadhah jika masing-masing pihak yang berserikat dapat bertindak hukum secara mutlak dan mandiri terhadap modal kerja, tanpa minta izin dan musyawarah dengan mitra serikatnya.
  7. 3. Syirkah Abdan/A’mal ( شركو الأعمال ), perserikatan yang dilakukan oleh dua pihak untuk menerima suatu pekerjaan, seperti kerjasama seprofesi antara dua orang arsitek atau tukang kayu dan pandai besi untuk menggarap sebuah proyek. Hasil atau imbalan yang diterima dibagi bersama sesuai kesepakatan. Menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyah hukumnya boleh. Ulama Malikiyah mengajukan syarat, yaitu bahwa kerja yang dilakukan harus sejenis, satu tempat, serta hasil yang diperoleh dibagi menurut kuantitas kerja masing-masing. Menurut ulama Syafi’iyah, Syi’ah Imamiyah, perserikatan seperti ini hukumnya tidak sah, karena yang menjadi obyek perserikatan adalah harta/modal, bukan kerja, disamping pula, kerja seperti ini tidak dapat diukur, sehingga dapat menimbulkan penipuan yang membawa kepada perselisihan.
    Syirkah Wujuh (شركة الوجوه ), serikat yang dilakukan dua orang atau lebih yang tidak punya modal sama sekali, dan mereka melakukan suatu pembelian dengan kredit serta menjualnya dengan harga tunai; sedangkan keuntungannya dibagi bersama. Mirip seperti kerja makelar barang, bukan makelar kasus (markus). Ulama Hanafiah, Hanabilah dan Zaidiyah menyatakan hukumnya boleh, karena masing-masing pihak bertindak sebagai wakil dari pihak lain, sehingga pihak lain itupun terikat pada transaksi yang dilakukan mitra serikatnya. Sedangkan ulama Malikiyah, Syafi’iyah menyatakan tidak sah dan tidak dibolehkan, karena modal dan kerja dalam perserikatan ini tidak jelas.
    5. Syirkah al-Mudharabah ( شركة المضاربة ), persetujuan antara pemilik modal dengan pengelola untuk mengelola uang dalam bentuk usaha tertentu, keuntungannya dibagi sesuai kesepakatan bersama, sedangkan kerugian menjadi tanggungan pemilik modal saja.
  8. 5a. MUDHARABAH MUTHLAQAH: Mudharabah untuk kegiatan usaha yang cakupannya tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai permintaan pemilik dana.
    5b. MUDHARABAH MUQAYYADAH: Mudaharabah untuk kegiatan usaha yang cakupannya dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai permintaan pemilik dana.
    Hikmah Syirkah
    Manusia tidak dapat hidup sendirian, pasti membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan. Ajaran Islam mengajarkan agar kita menjalin kerjasama dengan siapapun terutama dalam bidang ekonomi dengan prinsip saling tolong-menolong dan saling menguntungkan (mutualisme), tidak menipu dan tidak merugikan. Tanpa kerjasama maka kita sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup.
    Syirkah pada hakikatnya adalah sebuah kerjasama saling menguntungkan dalam mengembangkan potensi yang dimiliki baik berupa harta atau pekerjaan. Oleh karena itu Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja sama sesuai prinsip di atas. Hikmahnya adalah adanya saling tolong-menolong, saling membantu dalam kebaikan, menjauhi sifat egoisme, menumbuhkan saling percaya, menyadari kelemahan dan kekurangan, dan menimbulkan keberkahan dalam usaha jika tidak berkhianat. QS. Al-Maidah: 2 وتعاونوا على البر والتقوى...
  9. Rukun dan Syarat Syirkah
    RUKUN Syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Menurut ulama Hanafiah, rukun syirkah hanya ijab dan qabul atau serah terima. Sedangkan orang yang berakad dan obyek akad bukan termasuk rukun, tapi syarat.
    Menurut jumhur ulama, rukun syirkah meliputi shighat (lafaz) ijab dan qabul, kedua orang yang berakad, dan obyek akad.
    SYARAT Syirkah merupakan perkara penting yang harus ada sebelum dilaksanakan syirkah. Jika syarat tidak terwujud, maka akad syirkah batal.
    Syarat-syarat umum syirkah (termasuk untuk syirkah ‘inan dan wujuh):
    Syirkah itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan, artinya salah satu pihak jika bertindak hukum terhadap obyek syirkah itu, dengan izin pihak lain, dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang berserikat. Juga, anggota serikat saling mempercayai.
    Prosentase pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang berserikat dijelaskan ketika akad berlangsung.
    Keuntungan diambil dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta lain.
    Syarat khusus dalam syirkah al-’uqud: modal perserikatan itu jelas dan tunai, bukan berbentuk utang dan bukan pula berbentuk barang.
    Syarat khusus untuk syirkah al-mufawadhah, menurut ulama Hanafiah:
    Kedua belah pihak cakap dijadikan wakil.
    Modal yang diberikan masing-masing pihak harus sama, kerja yang dilakukan juga sama, keuntungan yang diterima semua pihak kuantitasnya juga harus sama.
    Semua pihak berhak untuk bertindak hukum dalam seluruh obyek perserikatan itu.
    Lafaz yang digunakan dalam akad adalah lafaz al-mufawadhah. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka akadnya tidak sah, dan berubah menjadi syirkah al-’inan.
  10. Musyarakah
    Istilah Musyarakah berkonotasi lebih terbatas daripada istilah syirkah. Istilah ini tidak banyak digunakan dalam fiqh, tetapi sering dipakai dalam skim pembiayaan syariah. Musyarakah merupakan akad bagi hasil ketika dua atau lebih pengusaha pemilik dana/modal bekerjasama sebagai mitra usaha, membiayai investasi usaha baru atau yang sudah berjalan. Mitra usaha pemilik modal berhak ikut serta dalam manajemen perusahaan, tetapi itu tidak merupakan keharusan. Para pihak dapat membagi pekerjaan mengelola usaha sesuai kesepakatan, dan mereka juga dapat meminta gaji untuk tenaga dan keahlian yang mereka curahkan untuk usaha tersebut.
    Proporsi keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad, sesuai proporsi modal yang disertakan (pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i), atau dapat pula berbeda dari proporsi modal yang mereka sertakan (pendapat Imam Ahmad). Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda dari proporsi modal pada kondisi normal. Namun demikian, mitra yang memutuskan menjadi sleeping partner (pasif), proporsi keuntungannya tidak boleh melebihi proporsi modal.
    Jika terjadi kerugian, maka ditanggung bersama sesuai dengan proporsi penyertaan modal masing-masing.
    Kesimpulan: Dalam musyarakah, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan para pihak, sedangkan kerugian ditanggung bersama sesuai dengan proporsi penyertaan modal masing-masing pihak.
  11. MITRA USAHA
    MITRA USAHA
    SKEMA MUSYARAKAH
    Akad Musyarakah
    Modal & Skill
    Modal & Skill
    PROYEK (Kegiatan Usaha)
    Bagian Keuntungan X
    Bagian Keuntungan Y
    Keuntungan (Bagi hasil keuntungan sesuai porsi kontribusi modal/nisbah)
    Bagian Modal X
    Bagian Modal Y
    MODAL
  12. Mudharabah
    Yaitu akad bagi hasil ketika pemilik dana (pemodal/shahibul mal/rabbul mal) menyediakan modal 100% kepada pengusaha sebagai pengelola (mudharib), untuk melakukan aktivitas produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi bersama menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad (misal 60:40).
    Pemilik dana hanya menyediakan modal dan tidak ikut campur dalam manajemen usaha yang dibiayainya. Pengelola tidak ikut menyertakan modal, tetapi memberikan konstribusi tenaga dan keahliannya.
    Jika terjadi kerugian karena proses normal dari usaha, dan bukan karena kelalaian atau kecurangan pengelola (mudharib), maka kerugian modal ditanggung sepenuhnya oleh pemodal (shahibul mal), sedangkan pengelola telah kehilangan tenaga, pikiran dan keahlian yang telah dicurahkan saat menjalankan usaha. Jika kerugian itu disebabkan kelalaian atau kecurangan pengelola, maka pengelola bertanggung jawab sepenuhnya.
    Ulama Hanabilah menganggap mudharabah termasuk salah satu bentuk syirkah/perserikatan. Tapi jumhur ulama (Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah, Imamiyah) tidak memasukkan mudharabah sebagai salah satu bentuk syirkah. Karena mudharabah menurut jumhur merupakan akad tersendiri.
  13. PEMODAL (SHAHIBUL MAL)
    PENGUSAHA (MUDHARIB)
    SKEMA MUDHARABAH
    Akad MUDHARABAH
    SOFT SKILL
    MODAL 100%
    Kegiatan Usaha
    Bagian Keuntungan X
    Bagian Keuntungan Y
    Keuntungan
    Modal 100%
    MODAL / Kerugian
  14. Mudharabah Muqayyadah
    1.Proyek Tertentu
    BANK
    Mudharib
    (Pengelola)
    SPECIAL
    PROJECT
    4.Penyaluran Dana
    5. Bagi Hasil
    2. HubungiInvestor
    6. Bagi
    Hasil
    3. Invest
    dana
    INVESTOR
    Shahibul Mal
    (Pemilik modal)
  15. Alur Kerja
    Bank Syariah
    Menerima pendapatan
    Pembayaran bagi hasil
    Tergantung pendapatan / hasil yg diterima
    Hanya dana mudharabah
    Bagi hasil / Margin
    Mudharib
    Shahibul maal
    Mudharib
    Shahibul Maal
    Penyaluran
    dana
    Penghimpunan
    dana
    Bank
    Deposan
    Nasabah
    debitur
    Menerima bunga tetap
    Membayar bunga tetap
    Tidak ada pengaruh pendapatan yang diterima
    BANK KONVENSIONAL
16.               HUKUM-HUKUM SYIRKAH
17.   Contributed by Redaksi
18.   Tuesday, 05 May 2009
19.   Last Updated Tuesday, 05 May 2009
20.  HUKUM-HUKUM SYIRKAH
21.  Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi
22.  Pengertian Syirkah
23.  Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’),
24.  syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765).
25.  Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-
26.  Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).
27.  Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa
28.  sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut
29.  makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha
30.  dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).
31.  Hukum Dan Rukun Syirkah
32.  Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Saw berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah.
33.  Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi
34.  Saw membenarkannya. Nabi Saw bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra:
35.  Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak
36.  mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan
37.  ad-Daruquthni].
38.  Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
39.  (1) akad (ijab-kabul), disebut juga shighat; (2) dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan
40.  (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta); (2) obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup
41.  pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).
42.  Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu: (1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan
43.  melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli; (2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah
44.  menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146).
45.  Macam-Macam Syirkah
46.  Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima
47.  macam syirkah dalam Islam: yaitu: (1) syirkah inân; (2) syirkah abdan; (3) syirkah mudhârabah; (4) syirkah wujûh; dan
48.  (5) syirkah mufâwadhah (An-Nabhani, 1990: 148). An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang
49.  dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama
50.  Hanafiyah dan Zaidiyah.
51.  Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdan, mudhârabah, dan wujûh.
52.  Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama
53.  Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-
54.  Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).
55.  Syirkah Inân
56.  Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan
57.  modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148).
58.  Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun
59.  dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya samasama
60.  bekerja dalam syirkah tersebut.
61.  Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau
62.  mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
63.  Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk)
64.  berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian
65.  sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata,
66.  "Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak
67.  yang bersyirkah)." (An-Nabhani, 1990: 151).
68.  Syirkah ‘Abdan
69.  Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja
70.  (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau
71.  penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-
72.  Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A
73.  dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika
74.  memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
75.  Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja
76.  syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan
77.  merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa
78.  pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).
79.     House of Khilafah
80.     http://khilafah1924.org Powered by Joomla! Generated: 30 November, 2011, 03:15
81.  Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di
82.  antara mitra-mitra usaha (syarîk).
83.  Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata,
84.  "Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada
85.  Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun." [HR. Abu
86.  Dawud dan al-Atsram].
87.  Hal itu diketahui Rasulullah Saw dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).
88.  Syirkah Mudhârabah
89.  Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi
90.  kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah
91.  dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836).
92.  Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang
93.  bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
94.  Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama
95.  memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak
96.  pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya
97.  memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah
98.  (An-Nabhani, 1990: 152).
99.  Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Saw) dan Ijma Sahabat (An-
100.                Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola
101.                (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syaratsyarat
102.                yang ditetapkan oleh pemodal.
103.                Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian
104.                ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang
105.                wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152).
106.                Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena
107.                melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah,
108.                2/66).
109.                Syirkah Wujûh
110.                Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah
111.                masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi
112.                kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B
113.                adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku
114.                ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).
115.                Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka
116.                beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing
117.                pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh,
118.                dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing
119.                memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua,
120.                sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
121.                Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang
122.                dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase
123.                barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam
124.                syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
125.                Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah,
126.                sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas
127.                kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
128.                Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah
129.                kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah
130.                yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka
131.                menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja,
132.                tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal
133.                jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).
134.                Syirkah Mufâwadhah
135.                Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas
136.                (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah
137.                dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri,
138.                maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).
139.                Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis
140.                syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung
141.                pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang
142.                dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
143.                Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat,
144.                bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli
145.    House of Khilafah
146.    http://khilafah1924.org Powered by Joomla! Generated: 30 November, 2011, 03:15
147.                barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
148.                Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah
149.                dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka
150.                bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan
151.                C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah
152.                inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada
153.                keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah
154.                menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
155.                Daftar Pustaka
156.                1. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Cetakan IV. Beirut: Darul Ummah.
157.                2. Antonio, M. Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta: Bank Indonesia & Tazkia Institute.
158.                3. Al-Jaziri, Abdurrahman. 1996. Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan I. Beirut: Darul Fikr.
159.                4. Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i. Beirut:
160.                Mua’ssasah ar-Risalah.
161.                5. —————. 1989. Asy-Syarîkât fî Dhaw’ al-Islâm. Cetakan I. T.Tp. Darus Salam.
162.                6. Az-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr.
163.                7. Siddiqi, M. Nejatullah. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam (Partnership and Profit Sharing in
164.                Islamic Law). Terjemahan oleh Fakhriyah Mumtihani. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
165.                8. Vogel, Frank E. & Samuel L. Hayes III. 1998. Islamic Law and Finance: Religion, Risk and Return. Denhag: Kluwer
166.                Law International.
167.    House of Khilafah
168.                        http://khilafah1924.org Powered by Joomla! Generated: 30 November, 2011, 03:15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar